Intake processes are cognitive mechanisms
that at once mediate between, and interact with, input data and intake factors.
The intake processes that appear to shape L2 development may be grouped under
three broad and overlapping categories: inferencing, structuring, and restructuring (Kumaravadivelu,
2008: 45). Proses ini muncul untuk mengatur apa yang terjadi di
dalam pikiran siswa ketika mereka mencoba untuk menginternalisasi sistem bahasa
yang dipelajarinya.
Hal tersebut sesuai dengan pendekatan pembelajaran menurut Muslich (2008:
41) yang menyatakan bahwa pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan
situasi sehari-hari dengan informasi yang dipahami atau dengan problematika
untuk dipecahkan. Dengan demikian, guru harus dapat memfasilitasi siswa untuk
mendapatkan pengalaman belajar yang dibutuhkannya. “Pembelajaran merupakan
proses aktif peserta didik yang mengembangkan potensi dirinya. Peserta didik
dilibatkan ke dalam pengalaman yang difasilitasi oleh guru sehingga pelajaran
mengalir dalam pengalaman melibatkan pikiran, emosi, terjalin dalam kegiatan
yang menyenangkan dan menantang, serta mendorong prakarsa siswa” (Dananjaya,
2010: 27).
Guru harus dapat memberikan pengalaman yang berkesan kepada siswa dalam
penguasaan bahasa kedua (L2). Pengalaman yang berkesan tersebut mungkin saja
berbeda pengaruhnya pada setiap siswa. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
persepsi dan motivasi siswa dalam pembelajaran, sebagaimana dikatakan Hamalik
(2012: 46) bahwa para siswa memberikan respons terhadap suatu perangsang dengan
berbagai tingkat kekuatan dan tujuan. Pembelajaran yang
menekankan pada respon siswa sesuai dengan aliran progresivisme yang
menganjurkan agar pendidikan diarahkan pada pembentukan anak didik yang
responsif terhadap segalakemajuan ilmu pengetahuan (Salahudin, 2011: 160-161).
Berdasarkan pengalaman belajarnya, siswa dapat melakukan penyimpulan
persepsi-persepsi dari pola bahasa yang diterimanya, kemudian melakukan
penataan (strukturisasi) terhadap pola bahasa yang diterimanya tersebut
berdasarkan persepsi yang ada pada dirinya. Tahap berikutnya adalah penataan
ulang (restrukturisasi) dari perpaduan pola bahasa yang ada pada dirinya dengan
pola bahasa yang diterimanya tersebut. In other words, restructuring denotes neither an incremental
change in the structure already in place nor a slight modification of it but
the addition of a totally new structure to allow for a totally new
interpretation. It results in learners abandoning their initial hunch and
opting for a whole new hypothesis (Kumaravadivelu, 2008: 47).
Selain dalam proses pembelajaran, guru
diharapkan dapat melakukan penilaian yang sesuai. Guru harus melakukan continuous-authentic-assessment yang
menjamin ketuntasan belajar dan pencapaian kompetensi peserta didik (Arifin,
2012: 195). However, no one but students
use the results of their teachers’ classroom assessment to set expectations of
themselves (Stiggins,
1994: 11).
Dari uraian di atas dapat diambil simpulan
bahwa proses intake sangat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua siswa
sehingga membutuhkan peran serta guru agar dapat mengembangkan potensi yang ada
pada diri siswa dengan pengalaman belajar yang sesuai dan menyenangkan.
Referensi:
Arifin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dananjaya, U. (2010). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Hamalik, O. (2012). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Kumaravadivelu,
B. (2008). Understanding Language
Teaching: From Method to Postmethod.
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Muslich, M. (2008). KTSP
Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Salahudin, A. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Stiggins, R.
J. (1994). Student-Centered Classroom
Assessment. New York: Macmillan College Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar