Sabtu, 06 Desember 2014

Intake Processes

Intake processes are cognitive mechanisms that at once mediate between, and interact with, input data and intake factors. The intake processes that appear to shape L2 development may be grouped under three broad and overlapping categories: inferencing, structuring, and restructuring (Kumaravadivelu, 2008: 45). Proses ini muncul untuk mengatur apa yang terjadi di dalam pikiran siswa ketika mereka mencoba untuk menginternalisasi sistem bahasa yang dipelajarinya.
Hal tersebut sesuai dengan pendekatan pembelajaran menurut Muslich (2008: 41) yang menyatakan bahwa pembelajaran harus digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi yang dipahami atau dengan problematika untuk dipecahkan. Dengan demikian, guru harus dapat memfasilitasi siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang dibutuhkannya. “Pembelajaran merupakan proses aktif peserta didik yang mengembangkan potensi dirinya. Peserta didik dilibatkan ke dalam pengalaman yang difasilitasi oleh guru sehingga pelajaran mengalir dalam pengalaman melibatkan pikiran, emosi, terjalin dalam kegiatan yang menyenangkan dan menantang, serta mendorong prakarsa siswa” (Dananjaya, 2010: 27).
Guru harus dapat memberikan pengalaman yang berkesan kepada siswa dalam penguasaan bahasa kedua (L2). Pengalaman yang berkesan tersebut mungkin saja berbeda pengaruhnya pada setiap siswa. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi dan motivasi siswa dalam pembelajaran, sebagaimana dikatakan Hamalik (2012: 46) bahwa para siswa memberikan respons terhadap suatu perangsang dengan berbagai tingkat kekuatan dan tujuan. Pembelajaran yang menekankan pada respon siswa sesuai dengan aliran progresivisme yang menganjurkan agar pendidikan diarahkan pada pembentukan anak didik yang responsif terhadap segalakemajuan ilmu pengetahuan (Salahudin, 2011: 160-161).
Berdasarkan pengalaman belajarnya, siswa dapat melakukan penyimpulan persepsi-persepsi dari pola bahasa yang diterimanya, kemudian melakukan penataan (strukturisasi) terhadap pola bahasa yang diterimanya tersebut berdasarkan persepsi yang ada pada dirinya. Tahap berikutnya adalah penataan ulang (restrukturisasi) dari perpaduan pola bahasa yang ada pada dirinya dengan pola bahasa yang diterimanya tersebut. In other words, restructuring denotes neither an incremental change in the structure already in place nor a slight modification of it but the addition of a totally new structure to allow for a totally new interpretation. It results in learners abandoning their initial hunch and opting for a whole new hypothesis (Kumaravadivelu, 2008: 47).
Selain dalam proses pembelajaran, guru diharapkan dapat melakukan penilaian yang sesuai. Guru harus melakukan continuous-authentic-assessment yang menjamin ketuntasan belajar dan pencapaian kompetensi peserta didik (Arifin, 2012: 195). However, no one but students use the results of their teachers’ classroom assessment to set expectations of themselves (Stiggins, 1994: 11).
Dari uraian di atas dapat diambil simpulan bahwa proses intake sangat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua siswa sehingga membutuhkan peran serta guru agar dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri siswa dengan pengalaman belajar yang sesuai dan menyenangkan.

Referensi:
Arifin, Z. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dananjaya, U. (2010). Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Hamalik, O. (2012). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Kumaravadivelu, B. (2008). Understanding Language Teaching: From Method to Postmethod. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Muslich, M. (2008). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Salahudin, A. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: Macmillan College Publishing Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar